Malam...bulan penuh lagi, dan aku...
Dalam keadaan sesal yang teramat sesal. Mengutuki diri sendiri karena tidak pernah berhasil mengendalikan api dalam hati.
Selalu saja... Atau mungkin "kemarahan" ku di ujung sudah...
Berbulan-bulan..bertahun-tahun.... Kadang saat hal yang tidak benar kita saksikan dan tak kita pedulikan, bukan berarti hal itu lewat begitu saja. Sadar tidak sadar, ada benih disna, tertanam subur dengan "salah-salah" yang terus bertambah tambah. Dan pada waktunya, hanya perlu sepercik api untuk dilemparkan pada kubangan bensin yang siap menyalap, saat itu juga.
Marah itu... wahai bulan, Seperti paku yang menancap ke kayu. Saat dipaksakan melobangi kayu, akan ada kepuasan, namun tak selamanya paku bertahan. Sehingga pada saatnya saat maaf memaksa paku untuk keluar, ada bekas disana. Dalam... Tak ada yang bisa kauperbuat wahai bulan. Sesal pun tak berguna.
BUlan yang penuh lagi malam ini....
Mungkin kau tak penuh benar...
Tapi malam kemarin marahku melewati kata "penuh" untuk kemudian membuncah.
MArah... seperti api... menghancurkan apapun yang disentuhnya. DAn Aku, menghancurkan hati-hati yang seharusnya tak boleh kusakiti. Menodai tali-temali yang tak boleh kunodai. Marahku, menyembur seperti kawah gunung merapi. Menghancurkan "rasa iba"... Melumat "rasa Bangga", untuk kemudian menghapus "sayang" hingga yang tersisa hanya benci...
Benci yang berujung pada "tega"... Ke"tegaan" untuk menyakiti dan menghancurkan..
Ketegaan yang meluputkan rasa "melindungi". Membunuh "penghargaan" atas nama manusia. Benci yang mematikan ...
Berujung dendam..........
Marahku wahai bulan, selalu berujung dendam...
Marahku wahai bulan... adalah ketakutan terbesar dalam hidupku. Tak kutahu kapan hilang. Tak kutahu kapan datang. Marahku wahai bulan, sampai di titik yang menghancurkan.... aku, hatiku, harapanku, hati-hati pengasih yang ada didekatku...
Marahku wahai bulan... Bawa pergi saja kalau kau bisa,
Karena marahku, wahai bulan, Membunuhku pelan....
Ulee Kareng, Nov 9 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar