Judulnya sebenarnya jauuuuuuuuuuuh sekali dengan
cerita. It’s not a good piece of my life, but it’s give me a lot of lessons to
learn.
Waktu itu umurku masih 8 tahun saja, kelas 2 SD
negri setempat. Hidup tidak mudah saat itu. Makan minum pun tak begitu leluasa.
Keluarga kami masih terbilang baru hidup di belantara Banda Aceh.
Seperti kebanyakan anak lainnya, ke sekolah pagi
hari, berjalan kaki, menyebrangi jembatan yang membelah Skrueng Aceh, sesekali
berpapasan dengan manusia paling legendaris di tempat itu. Secara umum
orang-orang telah menobatkannya sebagai ikon tempat sekolahku berada, padahal
dia bukan seorang yang sungguh hebat, dia hanya sedikit berbeda dengan
orang-orang lain. Saat orang lain menggunakan handuk saat selesai mandi untuk
mengerigkan badan, maka ia menjadikannya sebgai satu-satunya pakaian yang
melekat di badan. Bagiku pribadi dia mirip Bob Marley, dengan kiwilan rambut
menguning, sempurna.
Selalu ku berjalan kaki ke sekolah, hanya
sekali-kali saja aku menumpang kendaraan umum serupa bis, DAMRI namanya.
Sekali-kali itu kalau ada sisa jajan kawan.
Hidup keluargaku biasa saja. Walau hidup sedikit
susah, aku diperlakukan beda oleh bapak. Sekali-kali di sore hari bapak
memberikanku jajan extra. Sekali-kali saja. Dan aku sering berbagi dengan itu.
Senang harusnya, namun berujung masalah.
Satu hari salah seorang ibu-ibu tetangga mengeluh
pada ibu-ibu lain di komplek itu, bahwa anaknya sering sekali kehilangan uang
jajan. Anak itu berayahkan si kaya yang punya toko di depan komplek kami. Toko
yang penuh makanan dan permen, juga coklat, juga Indomie.
Ah, bahkan Indomiepun sangat teramat lezat saat itu.
Pernah kami sekeluarga makan mie yang penuh lilin cair di dalamnya. Almarhum
abangku memasaknya dengan penerangan lilin, dan tanpa sengaja menjatuhkan lilin
kedalamnya. Kami tetap memakan mie kuah lilin itu. Terlalu sayang untuk
membuang makanan. Apalagi Indomie. Tertawa-tawa kami sekeluarga sesaat sesudah
makan mie kuah lilin itu. Bibir kami semua sudah penuh kerak lilin yang
mengering. Sungguh indah masa itu.
Kembali ke perbincangan ibu-ibu komplek yang
akhirnya berujung fitnah. Aku yang masih berumur 8 tahun saja itu pun menjadi
tersangka; Pencuri uang-uang si anak kaya. Ah kawan... mengingatnya selalu
membuatku terpukul. Bahkan sampai sekarang aku ketakutan sendiri saat ada
barang yang hilang. Bukan takut karena aku BENAR mencurinya, bukan karena itu.
Aku takut orang-orang menuduhku. Aku takut kejadian menyedihkan dan menakutkan
itu menimpaku dan keluargaku lagi. Sakit benar saat itu.
Usut punya usut, gosip di komplek menyebar dan
sampailah ke telinga ibuku. Entah apa yang beliau rasakan saat itu.
Mak...mak.... sungguh kasihan dirimu, punya anak “tersangka pencuri uang
seribu-duaribu saja”.
Aku pergi mengaji sore itu. Sampai maghrib dan
pulang sesudah shalat Isya berjamaah. Keadaan ekonomi ustadz.ku pun tak
lebih baik dari kami saat itu. Dinding rumahnya yang dari kayu itu punya
begitu banyak celah entah karena sudah lapuk, entah karena rayab. Dari celah
itulah seorang anak tetangga lainnya mengendap membocorkan semua cerita yang
sedang beredar. Aku tak tahu apa-apa. Sampai saat itu, saat sahabat abangku
yang tak mau mengaji itu datang dan menanyakan perihal “uang-uang hilang”
padaku. Baik sekali abang itu mengkhawatirkanku, semoga Allah melapangkan
tempat tidur terakhirnya. Ia sudah pergi, tapi aku selalu ingat kebaikan dan
kesetiaannya pada keluarga miskin kami. “Dek.. apa benar kamu ada ambil uang
anak bu “A”, tanyanya dari luar rumah di sela-sela dinding yang bisa rubuh
kapanpun itu. Apa yang bisa kujawab, aku anak berumur 8 tahun, benar-benar
tidak pernah mencuri, Demi Allah...belum pernah, selapar apapun. Aku terkejut,
takut.... “Hana....hana bang.... (tidak...tidak bang)...”. “Oh...kajeut menyoe
menan (Ok...baguslah kalau begitu)”, Alahai bang, semacam dia orang yang punya
solusi saja ngomong gitu. Dia hanya memberi tahu bahwa ibu-ibu sdah berkumpul
didepan rumahku membicarakan perihal “uang-uang hilang” itu. Pengajian
selesai, akupun berburu pulang dalam takut, dalam galau. Apa benar aku mencuri?
Seingatku tidak. Apa benar aku mencuri? Tidak....Aku tidak pernah mencuri.
Tidak pernah mencuri. Air matapun berlomba tuk keluar. Tidak dulu pikirku, aku
harus pulang, harus bilang semuanya pada ibuku, pada Bapak. Ah Bapak... apa
pikirnya ya saat itu. ...................... Kenapa pula jalan pulang begitu
jauh, lama sudah, tapi tak sampai-sampai.
Dari jauh aku pun makin ketakutan. Aku, anak
perempuan,8 tahun, baru pulang mengaji. Di depan rumah ibu-ibu kompplek sudah
berkumpul. Ah..benar rupanya kata abang itu. Bagaimana aku harus bersikap.
Akupun berjalan setengah berlari, setengah berjalan, tidak menunduk dihadapan
mereka. Tak kulihat wajah mereka satupun. Namun aku tak kuasa untuk tak
tertunduk, ibuku keluar dari kerumunan, menangkap tanganku pelan, lembut
sekali. “Assalamualaikum...”. Kumasuki rumah saat ibu menuntunku masuk, beliau
berbicara setenah berbisik, lembut sekali. “Nak, ibu mau tanya sesuatu”. Di
kamar itu ibu mendudukkanku. Merengkuh bahuku, pelan tapi tegas. Apa yang bisa
kulakukan, hendak menangis rasanya, tapi aku harus bicara dulu dengan ibu,
harus dengar ibuku bertanya dulu. “Nak....benar kamu ada ‘ambil’ uang anak bu
‘A’?” tanyanya. Tak langsung kujawab, bukan karena tak tahu jawabannya. Bukan
juga karena jawabannya ‘iya’. Bukan kawan.... Aku terlalu berat menahan tangis,
sudah dari tempat ngaji tadi kutahan. Aku pun akhirnya menggeleng dan menjawab
“Hana mak (Tidak bu)”, dan tanpa kusadari tangisku pecah sudah. Tak sanggup
kutahan lagi. Aku menangis, menjerit sejadi-jadinya “HANA LOEN COK PENG JIH
MAK...HANA LOEN COK PENG AWAK NYAN! (Saya gak ambil uang dia Mak, Gak ambil
uang mereka). Tubuhku terguncang karena sesegukan. Ibupun menangis.... menangis
sambil memelukku sangat erat. Lalu ibu menyapu air matanya dan bilang padaku
“Ibu percaya kamu, sudah jangan nangis lagi”, dan beliau keluar kamar. Aku tak
ingat kejadian apapun lagi malam itu, aku hanya ingat aku terus menangis sampai
akhirnya tertidur. Tertidur dengan pemikiran-pemikiran ala anak 8 tahun; jangan
mau miskin, karena kalau miskin, orang akan menuduhmu pencuri. Tidur dengan
bayangan wajah-wajah “penuduh” yang akhirnya kumaafkan. Tidur sampai paginya,
seperti biasa. Menjadi anak kecil lagi. Sekolah lagi, bermain lagi, tertawa
lagi.
Seminggu kemudian salah seorang ibu-ibu yang
berspekulasi itu datang kerumah. Ia menangis pada ibuku, minta maaf. Bukan
padaku. Aku hanya memandang dari kejauhan, tak ada sedih karena air matanya.
Kenapa? Mungkin anak 8 tahun itu sudah belajar dendam. Entahlah. Aku menatapnya
dingin. Berhari-hari kemudian baru kami tahu bahwa si anak yang uagnya sering
hilang itu punya kebiasaan aneh. Ah aku lupa menyebutkan, anak itu umurnya 4
tahun saja. Dia suka menyembunyikan uang, permen, mie, atau apapun pemberian
ayahnya di bawah batu besar di depan rumahnya. Atau dibawah sofa ibunya. Atau
dibawah kasur orang tuanya. Dan dia selalu lupa setelah melakukannya. Anak
kecil....
Aku.... Aku baik-baik saja setelah itu. Begitu
banyak kebaikan sesudah itu. Walau hidup kadang pernah sakit. Aku menghargai
masa laluku, namun tak pernah bisa tersenyum mengenang yang satu ini.
Dendamkah!? Mungkin tidak, karena kami berteman baik dengan orang-orang itu
sekarang, Berpuluh tahun sesudahnya. Mungkin ibuku lupa, si penuduh juga lupa,
kawan-kawanku lupa, saudara-saudaraku lupa. Tapi aku, yang berumur 25 tahun
sekarang terlalu sakit melihat aku yang berumur 8 tahun diperlakukan seperti
itu. Itu luka. Itu trauma. Itu mimpi buruk paling panjang yang pernah ada. Dan
aku tak akan pernah bisa lupa......
Selesai juga :’) 2.20 am 8 July 2010
Dipublikasikan di blog ini 20 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar