Jumat, 22 Juli 2011
Durian and those memories
"Dek...bangun...bangun...abang pulang, banyak durian sisa ni", begitu cara mamak membangunkanku dulu waktu umurku sekitar 5 atau 6 tahun. Waktu itu sekitar pukul 12 malam, abangku yang tertua baru saja pulang berjualan durian. Waktu itu, dan sampai sekarang aku yang memang tergila-gila sama durian, bangun segera mendengar nama durian. Makan durian tengah malam buta(emang ada gitu malam gak buta, rebut-rebutan dengan abang-abang dan kakak-kakakku. Hehehe.... Bang, bang....pa kabar bang!? Ramadhan sudah dekat, semoga kami semua punya waktu berkunjung.
Abngku yang tertua, SAribunis namanya, merupakan cucu tertua dari kedua belah pihak, pihak bapak dan mamak. Orangnya tidak begitu tinggi, kulitnya gelap, rambutnya persis rambut Bruce Lee, memang dia mengidolakan Bruce Lee. Dia rajin olahraga, mungkin karena memang jurusannya pendidikan olahraga. Badannya tegap, selalu bangun pagi, Typical abang yang sangat bertanggung jawab.
KArena ingin memperbaiki hidup, setamat SMA dia hijrah ke Banda Aceh seorang diri, aku belum lahir waktu itu, umur kami memang terpaut jauh. Beberapa waktu setelahnya kakak-kakak tertuakupun diajaknya, dan berlanjut dengan seluruh anggota keluargaku kecuali 2 orang. Aku masih sangat kecil sekali sewaktu pindah ke Banda.
Abang, kuliah dengan usaha sendiri, belum lagi dia juga memikirkan kehidupan kami, adik-adiknya. SEmua dia lakukan, Jualan durian waktu musim durian, jualan rambutan waktu musim rambutan, siang atau sore saat tidak ada jam kuliah ia bekerja sebagai penjahit sepatu di Peinayong. Di lorong sempit itu, dialah perintis pertama penjahit sepatu/sendal.
Hidup memang tidak berpihak padanya, terlalu keras perjuangan hidupnya. Pernah ia dikejar-kejar oleh satpol PP karena tidak punya ijin usaha, hanya kotak perkakaslah yang berhasil ia selamatkan. Berlari dari satpol PP dan berjlan kaki sampai ke tempat kami tinggal. Tergesa-gesa dalam hari yang sama ia mengurusi semua surat yang diperlukan agar sisa tempat usahanya tidak diangkut oleh satpolPP. Tergesa pula ia kembali kesana. Ke lorong sempit yang masih ada sampai sekarang, dia, abangku, satu-satunya penjahit sepatu/sandal berijin di kemudian hari. setelah ia, banyak kerabat yang melakukan usaha yang sama, untuk hidup, berkeluarga. Sedang abangku, hidupnya untuk kami, sedikit sekali untuknya.
Tak banyak kenanganku dengannya. Teapat waktu aku berumur 7 tahun, sore itu aku dan teman-temanku sedang mandi di sumur tetangga. aku lihat mamak tergesa pergi. Aku memanggil, "MAk, mau kemana?", "Ke rumah sakit, bangngoh sakit", begitu katanya. BAngngoh adalah abangku yang lebih muda dari abang. Menjelang maghrib, aku sedang berlari-lari saat itu. SEbuah ambulance datang dengan raungan yang mengiris, dengan teriakan histeris mamak dan kakak kakakku, Bahkan bapak pun menangis. Pintu ambulance dibuka, darisana jasad yang tertutup kain panjang pinjaman dari tetangga itu diturunkan. Aku kira itu bangngoh. Aku kira itu abangku yang satu lagi. Ternyata itu abangku, abang tertuaku. Wajahnyapun ditutup.
Dia pergi, tepat sehari sebelum kelulusannya. Dia pergi saat baru saja meminjam toga dari kampusnya. Tak sempat dia wisuda. SEhari lagi. Tak sempat dia memakai toga.
Abangku pergi, menyisakan keputusasaan bagi keluargaku. Berbulan-bulan kami seperti hilang arah. Mamakku, ah....jangan tanya mamakku. SEbulan tanpa mandi, aku bahkan tak berani mendekatinya, sesekali ia menangis, sesekali tertawa. Kakak-kakakku...merekapun tak ada bedanya, seperti hilang pengawal, hilang penasehat hidup. Abang-abangku, mereka jatuh, seperti hilang contoh...
Hanya sedikit yang kuingat tentang abang, dia pernah membelikanku sepatu waktu pertama kali masuk SD, memebelikanku pinsil berwarna waktu aku merengek minta dibelikan dan ibu menolak.
Abang..... entah siapa yang melakukannya, 4 hari ini potonya ada di meja ruang tamu kami, tak ada yang berniat memindahkan. Mungkin bapakku yang meletakkanya.
Anak lelaki kesayangan dan kebanggaan...
Bang BUnis...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar