Senin, 20 Oktober 2014

Repost- My Lovely Childhood

Judulnya sebenarnya jauuuuuuuuuuuh sekali dengan cerita. It’s not a good piece of my life, but it’s give me a lot of lessons to learn.

Waktu itu umurku masih 8 tahun saja, kelas 2 SD negri setempat. Hidup tidak mudah saat itu. Makan minum pun tak begitu leluasa. Keluarga kami masih terbilang baru hidup di belantara Banda Aceh.
Seperti kebanyakan anak lainnya, ke sekolah pagi hari, berjalan kaki, menyebrangi jembatan yang membelah Skrueng Aceh, sesekali berpapasan dengan manusia paling legendaris di tempat itu. Secara umum orang-orang telah menobatkannya sebagai ikon tempat sekolahku berada, padahal dia bukan seorang yang sungguh hebat, dia hanya sedikit berbeda dengan orang-orang lain. Saat orang lain menggunakan handuk saat selesai mandi untuk mengerigkan badan, maka ia menjadikannya sebgai satu-satunya pakaian yang melekat di badan. Bagiku pribadi dia mirip Bob Marley, dengan kiwilan rambut menguning, sempurna.
Selalu ku berjalan kaki ke sekolah, hanya sekali-kali saja aku menumpang kendaraan umum serupa bis, DAMRI namanya. Sekali-kali itu kalau ada sisa jajan kawan.

Hidup keluargaku biasa saja. Walau hidup sedikit susah, aku diperlakukan beda oleh bapak. Sekali-kali di sore hari bapak memberikanku jajan extra. Sekali-kali saja. Dan aku sering berbagi dengan itu. Senang harusnya, namun berujung masalah.

Satu hari salah seorang ibu-ibu tetangga mengeluh pada ibu-ibu lain di komplek itu, bahwa anaknya sering sekali kehilangan uang jajan. Anak itu berayahkan si kaya yang punya toko di depan komplek kami. Toko yang penuh makanan dan permen, juga coklat, juga Indomie.
Ah, bahkan Indomiepun sangat teramat lezat saat itu. Pernah kami sekeluarga makan mie yang penuh lilin cair di dalamnya. Almarhum abangku memasaknya dengan penerangan lilin, dan tanpa sengaja menjatuhkan lilin kedalamnya. Kami tetap memakan mie kuah lilin itu. Terlalu sayang untuk membuang makanan. Apalagi Indomie. Tertawa-tawa kami sekeluarga sesaat sesudah makan mie kuah lilin itu. Bibir kami semua sudah penuh kerak lilin yang mengering. Sungguh indah masa itu.

Kembali ke perbincangan ibu-ibu komplek yang akhirnya berujung fitnah. Aku yang masih berumur 8 tahun saja itu pun menjadi tersangka; Pencuri uang-uang si anak kaya. Ah kawan... mengingatnya selalu membuatku terpukul. Bahkan sampai sekarang aku ketakutan sendiri saat ada barang yang hilang. Bukan takut karena aku BENAR mencurinya, bukan karena itu. Aku takut orang-orang menuduhku. Aku takut kejadian menyedihkan dan menakutkan itu menimpaku dan keluargaku lagi. Sakit benar saat itu.

Usut punya usut, gosip di komplek menyebar dan sampailah ke telinga ibuku. Entah apa yang beliau rasakan saat itu. Mak...mak.... sungguh kasihan dirimu, punya anak “tersangka pencuri uang seribu-duaribu saja”.

Aku pergi mengaji sore itu. Sampai maghrib dan pulang sesudah shalat Isya berjamaah. Keadaan  ekonomi ustadz.ku pun tak lebih baik dari kami saat itu. Dinding rumahnya yang dari kayu itu  punya begitu banyak celah entah karena sudah lapuk, entah karena rayab. Dari celah itulah seorang anak tetangga lainnya mengendap membocorkan semua cerita yang sedang beredar. Aku tak tahu apa-apa. Sampai saat itu, saat sahabat abangku yang tak mau mengaji itu datang dan menanyakan perihal “uang-uang hilang” padaku. Baik sekali abang itu mengkhawatirkanku, semoga Allah melapangkan tempat tidur terakhirnya. Ia sudah pergi, tapi aku selalu ingat kebaikan dan kesetiaannya pada keluarga miskin kami. “Dek.. apa benar kamu ada ambil uang anak bu “A”, tanyanya dari luar rumah di sela-sela dinding yang bisa rubuh kapanpun itu. Apa yang bisa kujawab, aku anak berumur 8 tahun, benar-benar tidak pernah mencuri, Demi Allah...belum pernah, selapar apapun. Aku terkejut, takut.... “Hana....hana bang.... (tidak...tidak bang)...”. “Oh...kajeut menyoe menan (Ok...baguslah kalau begitu)”, Alahai bang, semacam dia orang yang punya solusi saja ngomong gitu. Dia hanya memberi tahu bahwa ibu-ibu sdah berkumpul didepan rumahku membicarakan perihal “uang-uang hilang” itu.  Pengajian selesai, akupun berburu pulang dalam takut, dalam galau. Apa benar aku mencuri? Seingatku tidak. Apa benar aku mencuri? Tidak....Aku tidak pernah mencuri. Tidak pernah mencuri. Air matapun berlomba tuk keluar. Tidak dulu pikirku, aku harus pulang, harus bilang semuanya pada ibuku, pada Bapak. Ah Bapak... apa pikirnya ya saat itu. ...................... Kenapa pula jalan pulang begitu jauh, lama sudah, tapi tak sampai-sampai.

Dari jauh aku pun makin ketakutan. Aku, anak perempuan,8 tahun, baru pulang mengaji. Di depan rumah ibu-ibu kompplek sudah berkumpul. Ah..benar rupanya kata abang itu. Bagaimana aku harus bersikap. Akupun berjalan setengah berlari, setengah berjalan, tidak menunduk dihadapan mereka. Tak kulihat wajah mereka satupun. Namun aku tak kuasa untuk tak tertunduk, ibuku keluar dari kerumunan, menangkap tanganku pelan, lembut sekali. “Assalamualaikum...”. Kumasuki rumah saat ibu menuntunku masuk, beliau berbicara setenah berbisik, lembut sekali. “Nak, ibu mau tanya sesuatu”. Di kamar itu ibu mendudukkanku. Merengkuh bahuku, pelan tapi tegas. Apa yang bisa kulakukan, hendak menangis rasanya, tapi aku harus bicara dulu dengan ibu, harus dengar ibuku bertanya dulu. “Nak....benar kamu ada ‘ambil’ uang anak bu ‘A’?” tanyanya. Tak langsung kujawab, bukan karena tak tahu jawabannya. Bukan juga karena jawabannya ‘iya’. Bukan kawan.... Aku terlalu berat menahan tangis, sudah dari tempat ngaji tadi kutahan. Aku pun akhirnya menggeleng dan menjawab “Hana mak (Tidak bu)”, dan tanpa kusadari tangisku pecah sudah. Tak sanggup kutahan lagi. Aku menangis, menjerit sejadi-jadinya “HANA LOEN COK PENG JIH MAK...HANA LOEN COK PENG AWAK NYAN! (Saya gak ambil uang dia Mak, Gak ambil uang mereka). Tubuhku terguncang karena sesegukan. Ibupun menangis.... menangis sambil memelukku sangat erat. Lalu ibu menyapu air matanya dan bilang padaku “Ibu percaya kamu, sudah jangan nangis lagi”, dan beliau keluar kamar. Aku tak ingat kejadian apapun lagi malam itu, aku hanya ingat aku terus menangis sampai akhirnya tertidur. Tertidur dengan pemikiran-pemikiran ala anak 8 tahun; jangan mau miskin, karena kalau miskin, orang akan menuduhmu pencuri. Tidur dengan bayangan wajah-wajah “penuduh” yang akhirnya kumaafkan. Tidur sampai paginya, seperti biasa. Menjadi anak kecil lagi. Sekolah lagi, bermain lagi, tertawa lagi.

Seminggu kemudian salah seorang ibu-ibu yang berspekulasi itu datang kerumah. Ia menangis pada ibuku, minta maaf. Bukan padaku. Aku hanya memandang dari kejauhan, tak ada sedih karena air matanya. Kenapa? Mungkin anak 8 tahun itu sudah belajar dendam. Entahlah. Aku menatapnya dingin. Berhari-hari kemudian baru kami tahu bahwa si anak yang uagnya sering hilang itu punya kebiasaan aneh. Ah aku lupa menyebutkan, anak itu umurnya 4 tahun saja. Dia suka menyembunyikan uang, permen, mie, atau apapun pemberian ayahnya di bawah batu besar di depan rumahnya. Atau dibawah sofa ibunya. Atau dibawah kasur orang tuanya. Dan dia selalu lupa setelah melakukannya. Anak kecil....

Aku.... Aku baik-baik saja setelah itu. Begitu banyak kebaikan sesudah itu. Walau hidup kadang pernah sakit. Aku menghargai masa laluku, namun tak pernah bisa tersenyum mengenang yang satu ini. Dendamkah!? Mungkin tidak, karena kami berteman baik dengan orang-orang itu sekarang, Berpuluh tahun sesudahnya. Mungkin ibuku lupa, si penuduh juga lupa, kawan-kawanku lupa, saudara-saudaraku lupa. Tapi aku, yang berumur 25 tahun sekarang terlalu sakit melihat aku yang berumur 8 tahun diperlakukan seperti itu. Itu luka. Itu trauma. Itu mimpi buruk paling panjang yang pernah ada. Dan aku tak akan pernah bisa lupa......

                                                             
Selesai juga    :’) 2.20 am 8 July 2010
Dipublikasikan di blog ini 20 November 2014




Re.post (JIKA HIDUPKU BERNYANYI)

Jika hidupku bernyanyi..
Jika cita dan cintaku adalah simponi…
Akan kuawali semua dengan “what a wonderful world” oleh Celine Dion, aku tak suka Louis Amstrong yang memulai semuanya … Namun saat aku sadar bahwa setiap manusia harus menangis, Billy Gilman menyanyikan “One Voice” untukku. Menyadarkan bahwa dunia tak sebegitu indahnya. Dan setiap saat aku menghadapi kemelut selalu kuberlari pulang, “Feels Like Home” millik Edwina Hayes akan menemani langkahku pulang padanya, ibu…

Saat aku mendewasa, menyukai apa yang belum pernah kusuka, mengerti ketertarikan, Gilman lgi2 bersamaku dengan “I Think She Likes Me”, kuganti she menjadi he dan Nika Costa menyanyikan “First love” untukku. Senangnya….

Bukan kah jatuh cinta itu indah, tapi kadang memalukan tuk diungkap, hingga hanya bintanglah tempat bertanya, (Apa Kata Bintang, Gita Gutawa). Ada Ruth Sahanaya yang membantuku merangkai kata, walau ternyata aku sendiri, tidak seperti lirik lagu itu. Dan karena ternyata lagu Gilman bukan untukku… Karena ternyata aku meyakini Bryan Adams dalam lagunya “When You Love Someone”… aku biarkan ia terbang…. saat itulah Sheryl Crow menamparku dengan “The First Cut is The Deepest”…. Dan sampai saat itu pulih selama itu pula Vince Gill dan “Someday” menenangkanku…

Aku suka The Rain, seorang “sahabat” mendengarkan lagu2nya padaku, dan kisah kami pun “terlalu indah” tuk dilupakan. Aku suka Rain, The Rain, dan hujan… saat hujan tiba seolah rintiknya datang mendamaikan hatiku, dan Utopia disana dengan “Hujan”. Joe Purdy pun sama denganku, ia bilang “I love the rain the most”

Saat hujan itu pergi, ada bias disana dengan pelangi, aku mau Faith Hill menyenandungkan “Somewhere over the rainbow”, selalu… selalu, selalu aku merindu laguku…
Semua kembali biasa, dan hidupkupun kuseligi dengan indahnya simponi “childhood”, dan mengenang kisah cinta pertamaku dengan “L for Love”….aq suka keduanya…

Tersenyum membuatmu bahagia, atau kau bahagia karena tersenyum, aku percaya keduanya…. Bukankah hidup terlalu indah tuk ditangisi….Louis Amstrong lagi-lagi memaksaku mendengar lagunya “What a wonderful world”… hehhehehe…. Bagaimanapun aku sangat menyukai lagu ini.
Tapi, “loneliness know me by name” selalu saja terdengar…ugh….what do you know “westlife”?
“The woman in me needs a man in you” kata Shania Twain…..whatever kataku!!
Saat aku harus meninggalkan rumah, saat itu Bryan Mc. Fadden menyumbangkan “Sorry Love Daddy” untuk ku.

Aq lebih suka mendengar “Moonriver” di saat itu, Andy Williams benar2 piawai menyanyikan lagu ini, seolah aku ada di rumah kecil di peternakan di negri nya… benar2 feel country… hihihi, ada Trisha Yearwood dengan “There goes my baby”, selalu mengingatkanku pada seorang teman….maaf teman, I had to leave… jelas Trisha tidak boleh menyudahinya begitu saja, “For Reason I’ve Forgotten” pun dilanjutkan.

Saat itu ada R Kelly bersamaku dan aku percaya aku bisa “I believe I can fly” …. Dan Vanessa menggesek biolanya sehingga “Toccata and Fugue in D minor” akan selalu kudengar dimanapun aku ada..

Apapun itu aku tak mau berbasib sama dengan Dale Daniel “You Gave her your name”…tidak karena aq akan berlari pulang ketakutan “petrified, fort minor”, aku akan memburu angin tuk pulang “back home”… dan jika saat itu kau bertanya kenapa aku menangis maka putarlah “Goddbye” oleh Air Supply, lagu lama memang…aku mulai mendengarnya sejak kecil dulu… maka jika itu terjadi berbahagialah…. Karena aku selalu punya cara, sehebat Lizz Wright menenggelamkan kesedihannya di pantai ..”Song for Mia”. Itu mengapa aku suka pantai, aku akan selalu dekat dengannya.

Akan ada satu ketika, saat “Let Me Take You There” milik Plain White Ts menjadi laguku. Saat itu aku tak akan mendengar Hoobastank memarahiku dengan “If I Were You”….. tidak akan ada kesalahpahaman dan Hoobastank tak akan menanyaiku dengan “What Happened To Us”

Semua akan pergi, kesedihan itu akan hilang…. Bersama ombak, menenggelamkannya di tengah laut. Dan saat itu aku akan mendengarkan “Sahabat Kecilku” bercerita, seperti Gita Gutawa menyanyikannya. Dan saat itu pula, kau tergantikan dengan sahabat lainnya, dan kami bernyanyi tentang keberuntungan akan hati yang terobati, “Lucky” Jason Mraz selalu kunanti dalam mimpi… pada saat itu, apapun boleh terjadi, tapi aku tak akan seperti gadis yang diceritakan MLTR dalam lagunya “25 minutes” ….. dan walaupun aku percaya saat Vince Gill mengatakan “Someday”, aku akan selalu pulang. Disana di pintu paling belakang rumahku, akan kupangku seorang bocah tiga tahun dan kunyanyikan “kasih ibu” padanya sebagaimana pun hancurnya hariku, akan kuantar dia ke alam mimpi, seperti dulu ibunya pernah mengantarku tidur. It feels like home to me, It’s a “Perfect World”, isn’t it, Simple Plan!?

25 January 2010, 12.30 pm


Senin, 13 Oktober 2014

Sudah Sesombong itukah kita?

Diriwayatkan dulu...saat bumi belum tercipta dan "insan" belum ada, konon penghuni surga terdiri dari dua makhluk Tuhan yang sangat sempurna. Malaikat yang terbuat cahaya, yang air matanya mampu hadirkan "bahagia" lainnya dan Azazil yang gagah perkasa yang terbuat dari Api. Kedua ciptaan TUhan ini hidup damai di surga. Sampai Tuhan menyerukan akan ada satu ciptaan baru yang jauh lebih lemah dari kedua ciptaan terdahulu. Ciptaan yang terbuat dari liat dan penuh cela, punya cacat, tak segagah dan sekuat Azazil, tak sesuci Malaikat. Jauh dari kata sempurna. Namanya manusia.

Tuhan meminta Malaikat dan Azazil untuk lantas menghormati Manusia. Karena dengan segala kekurangan yang mereka punya, kelak yang terbaik dari mereka akan jauh berkualitas "hidup dan matinya" dari pada pendahulu mereka, penyembah Tuhan paling sempurna, Malaikat dan Azazil. Malaikat adalah makhluk cahaya yang tak pernah membangkang, patuh dan taat tanpa bertanya pun menyangkupi. Sial, Azazil merasa diri lebih baik dari Manusia lantas membuatnya menertawakan ide ini. Dia membangkang. Menolak untuk hormat dan bahkan mengutuki, dengan lantang berkata Manusia hanya akan menghancurkan dunia, saling membunuh, bercerai berai, meninggalkan Tuhannya, bahkan "meniadakan" keberadaanNya.

Terusirlah Azazil dari singgasana surga. Keangkuhan telah menerumuskannya. Iblis kemudian menjadi namanya. Pembangkang. Kesombongan yang merajai dirinya membuatnya tersilap.

Benar adanya, banyak manusia yang saling membunuh. Manusia menghancurkan ibu buminya. Menyiksa dirinya dengan berlaku gila pada dunia. Meninggalkan TUhan-nya dan lantas lupa...lantas alpa. Namun apa lantas Iblis punya hak melawan Tuhannya? Apa lantas "pengetahuan" nya yang "berbatas" menjadi senjatanya pada "Maha Mengetahui"?

Sombongnya ia, Iblis yang telah membangkang. Lupa bahwa Tuhan Di Atas Segalanya Tahu apa-apa yang tersembunyi. tahu isi2 hati dan rahasia-rahasia langit.
Sombongnya ia, Iblis telah salah "men-generalisasi" semua manusia. Iblis tersilap ada manusia-manusia suci lagi sempurna dengan penyembahannya terhadap Tuhan. Manusia-manusia sui yang disebut Nabi, Rasul. Manusia-manusia taqwa yang menyemah Tuhan tanpa henti. Tuhan, hanya dan satu dzat saja yang berhak sombong.

Penyakit besar yang kadang sering singgah di hati manusia-manusia lemah.
kadang terlihat, namun sungguh yang tersembunyi di hati.. MElubangi jiwa, kosong...
Lantas tanpa sadar.. Bahkan sombong pun tak ingat namanya lagi.
Lupa di atas langit masih ada langit.
Lupa di sempurnanya ilmu, masih ada cacatnya jiwa-jiwa yang menguasainya.
Lupa bahwa kadang "pengetahuan" ikut serta dengan keangkuhan.
Lupa bahwa hanya dengan kerlingan mata, sunggingan di bibir, dan desahan napas pun..
"kegagahan" itu menyentuh kalbu-kalbu di sekitarnya. Meruntuhkan bahagia-bahagia kecil atas nama tawa. Memporak porandakan kebaikan bernama percaya. Mengikis jiwa besar bernama keberanian. Membunuh..hubungan-hubungan indah bernama "saudara"

Sesombong itukah kita?
Ilmu sejengkal, lantas mengatai orang lain bodoh?
Tahu setitik, lantas merendahkan jiwa-jiwa pengelana?
Gelar satu atau dua, lantas merasa lebih hebat, melukai hati-hati indah pencari ilmu bumi.

Pernah suatu hari seorang saudara berkata pada saudaranya.
"Teman.. Jika kau kelak tinggi di puncak sana. Jangan berhenti melihat ke bawah. Belajarlah terus. Tentang ilmu bumi. Tentang bagaimana agung dan besarnya ibu bumi. Dipijak, diludahi, dihancurkan, diporak porandakan. tapi tetap berikan mu udara.. Lewat julur-julur indah harapan. Lewat hijaunya hidup. Lewat warna-warni rasa dan sayang. Teman.. setinggi dan sebanyak apapun yang tahu kelak. Tetaplah percaya, kalau kau bukan sesiapa. Tetap lah seperti bumi dan ilmunya. membumilah kau. Dan teman.. saat kau terus menanjak naik, mengepak kan sayap. Kadang kau lupa kegirangan mu terhadap ilmu..dan sayap-sayap "kata" mu melukai saudaramu. Tetaplah membumi.. Karena kelak.. ilmu dan gagahmu. Kelak "tahu" dan "milik" mu ini toh cuma dunia. Ke bumilah tempat kembalimu, aku, dan kita semua"


UQ, 4.45 AM
October 2014


Rabu, 08 Oktober 2014

Month #2 and I'm Rich... God.. I'm Rich

It's already more than two months I've been here in Australia. There's always this temptation I'd like to do called "comparing". I have the opportunity in the past to study in one other country for eight weeks.  And it means that this time I have the same length of time being in that country and being in Australia. And.. for sure I experience more and more things that I never expect to get. I know that comparing will never help. It's the worst you can do when staying in a new place. Neither helping nor comforting, this "comparing stuff" will stress you more and more. 

At this very moment I have things to be told, like bunches of it. What happened lately had led me to be a rich person indeed, I guess. I have a various experience from "being attacked by what so-call stereotyping" to "getting mingled  with more and more friends", from "missing home so much it led me crying bad" to "getting crazy with housemates everyday".

Just some weeks ago, I was attacked by two men in the middle of the daylight. One of them attempted to burn my scarf and the other said "terrorist" to me. I was shocked.. and hell..I wanted to fly home and I cried for couple of times for some days after. I believe I am a strong woman, but dude.. seriously. No matter how strong and brave you are, when you are away from home, you're gonna be vulnerable; inside and outside. I feel like I become a crybaby here for the first month and after that incident.  Not to mention my family who already know everything about this. I need and feel like I have to explain things like "Come on.. don't worry guys. Australians are nice people. But I was just at my bad luck meeting the bad apples". and after the "call home" I always ended up crying again and again because some sisters and parents also cry there. They keep saying "Be save, we always pray for you..". The police and friends are so nice though. They are super great people in Australia. I am so grateful for having the chance to meet some. I appreciate them and I hope God bless them (I know.. a little bit too much.. hahahha ). And the good news is "What goes around, comes around" for that man. (--) I don know what to say.

I feel so tired of nothing sometimes, but I remember this fact that "diamond is just a piece of charcoal that handled stress exceptionally well", and  "Get through it! and grow up!" were words that I kept saying to myself, but still... a little cries.

So.. I might say; I am rich.. I am rich.. for couple of time
I am rich of opportunities and experiences and I'd like to thanks everyone to help me make it happened. I want to count to count more and more bless I get every single minute now and then. 

I spent some "happy time" with friends, so fun that I forget what happened to me for a while. We had a very fun time

and the fireworks

So.. Luckily, I have great friends, Super duper great housemates, supportive family, and my scholarships provider as way beyond what I expect. They responded me and morally support me towards everything. 


What can I ask more.. Life is beautiful, and here I will survive and I will pass every single subject. Yeah.. Seven is impossible for this semester, but next semester, I will inshaAllah..Amiiin.