Senin, 09 November 2015

Wina dan rasa yang terlambat (cerpen kedua)


Jacaranda terakhir itu berguguran dan mungkin akan jadi saat terakhirku 


"Dan mungkin takkan bisa, kulupakan hingga akhir nanti. Kulepaskan cinta (rasa) ini. Kurela berkorban. Tak mengapa namun kau harus bahagia" (Sammy Simorangir, Kau harus bahagia)

Tergesa-gesa, Wina berlari mengejar bus yang sudah terlihat di perempatan jalan. Celakanya, celana yang dipakainya hari itu berkibar dan membuat nya tersandung dan terguling di tengah jalan raya. Ia berusaha bangkit berdiri namun usahanya terasa sulit dengan beban tas yang berat dan perih.. Lututnya terasa begitu perih. Seorang wanita paruh baya membantunya berdiri. "Oh dear.. are you okay?", tanyanya. Wina menoleh ke arah bus yang masih berhenti dan jelas ia masih sanggup mengejarnya, namun perih di lututnya semakin menjadi saat ia mulai berjalan. Ia pun mendesis menahan sakit. Bukan hari keberuntungannya. Bus itu melaju meninggalkan Wina. Wina melengos. Si ibu paruh baya mulai menanyakan apakah ada luka. Wina mulai menyibak lengan bajunya. Oh Tuhan.. luka dan darah. Wina kembali menyibak celananya dan ada luka besar di lututnya. "Oh dear.. poor girl.. oh dear...", ucap si wanita paruh baya berulang kali. "Let me help you" katanya sambil membantu Wina duduk di bus stop. Beberapa pengendara mobil yang melihat kejadian itu berhenti menanyakan keadaan Wina dan menawarkannya tumpangan. Wina menolak. Si wanita paruh baya yang kebetulan mempunyai plester dalam tasnya mengenakan plester ke atas luka Wina. "Dengar.. aku dulunya perawat. Untuk sementara pakailah ini. Nanti kamu harus bersihkan lukamu dan ganti plesternya.", katanya dengan dahi mengernyit menyesali apa yang terjadi pada Wina di pagi Senin yang sibuk itu.
Wina benci Senin, pagi, dan statistik, belum lagi dengan kecelakaan tadi pagi. Dia berjalan pelan seperti pincang. Tingkat ketidaknyamanan dan kepenatan yang sudah di ujung tanduk. Ugh!! mau pulang jelas tak bisa, karena dia punya presentasi hari itu. Dan.. ini adalah satu-satunya kesempatan dalam seminggu dimana Wina bisa berjumpa dia. 

Malaikat penolong Wina, sejak semula.. Jimminy Cricket bagi Pinokio dungu seperti Wina. Saat semua orang membuang wajahnya dari Wina, dia disana menawarkan pertolongan. Saat Wina tak pernah mengingatnya, dia menyapa dengan segala bentuk sapaan yang bisa dia lakukan. Dia selalu menawarkan dukungan, bahkan saat dia dalam masa terdesak. Menawarkan dirinya sebagai penghibur saat beban akademis sudah bertumpuk dan Wina selalu merasa hendak berlari pulang. Maka Senin-Senin ini akan aku selesaikan, tekatnya. Telah terlewat beberapa semester dan Wina terbiasa dengan semua kebaikannya. Kadang Wina merasa.. ia jatuh hati.. hanya jatuh hati, bukan cinta.. Akan kebaikannya.. perhatiannya.. bantuan dan dukungannya, cara hidupnya yang sederhana, kegigihannya, senyumnya.. Maka sebelum semua ini hilang karena dia akan pergi, dan Wina tetap disini, maka Wina akan terus hadir saat ia akan beranjak.

Wina bukanlah remaja tanggung yang tak bisa membaca kemungkinan-kemungkinan. Dan Wina cukup sadar, Jimminy Cricket-nya terlalu jauh dari capaian. Terlalu berbeda. Terlalu jauh dari semua probabilitas yang ada. Tidak ada probalbilitas dan semua pendekatan untuk mengsignifikan kan segala prediksi tak akan bisa diterapkan diantara mereka berdua. Kecuali ada kasus-kasus "outliers" dan itu cuma Tuhan saja yang bisa. Maka setiap rasa itu hadir, Wina selalu berhasil pergi dari sana. Kembali ke kekosongan rasa. Berjumpa, rasa itu ada.. saat pergi rasa itu hilang.. 

Dan sial.. saat-saat terakhir direkamnya. Saat nanti tak akan ada lagi Jiminy cricket nya. Justru di saat-saat terakhir itu penolong Wina memberi nya kenangan-kenangan terindah. Wina jatuh lagi ke lubang-lubang dasar hatinya dan lagi-lagi menduga-duga. Wina menduga-duga dan merasa bersalah pada dirinya sendiri. Dia tak mungkin sebodoh ini. Wina pernah disini.. Wina pernah sebodoh ini. Wina gagal menangani rasanya.. Rasa yang datang terlambat.. Dan kini rasa yang datang terlambat itu tetap disana. Menyiksanya pelan.

Fin




Epilogue

Hari itu, semua orang berkumpul merayakan kemenangan atas perjuangan keras mereka. Malam-malam lelah terbayar, usaha-usaha berbuah manis. Semua orang merayakan kelulusannya. Wina tak hendak datang, karena beranjak naik dari dasar rasa yang menyiksanya bukan hal yang mudah. Namun dia harus datang karena hari kelulusan itu tepat dengan kelulusan teman-temannya yang lain. Di sana Wina kembali melihatnya, setelah beberapa minggu terlewati. Wina lelah.. dia kira rasa yang datang terlambat itu telah pergi. Ternyata ia datang lagi. Wina benci telah mengartikan kebaikan orang lain sepicik itu. Ini salahku, pikirnya, aku terlalu mengambil hati setiap kebaikan orang. Aku terlalu mengartikan senyum dan keramahan itu sebagai hal yang tak biasa. Aku terlalu naif dalam menerjemahkan laku dan tingkah, pikirnya. 


Saat semua perhelatan selesai. Wina kira dia sudah berhasil pergi dan menghindar. Saat tiba-tiba dia melakukannya lagi, seperti saat itu dia datang dan Wina tak menyadari kehadirannya. Tiba-tiba muncul disampingnya berbisik "Hi Wina.. How are you?". Wina terperanjat berbalik. Dan dia disana.. Jimminy Cricket, penolong pinokio dungu Wina.. Senyum itu terpaksa ditariknya.. "I'm good..good"....Mereka hanya saling menatap, Wina tak tahu harus mengucap apa.. Dia pun hanya berdiri disana..terdiam, Kasihan ia, batin WIna.. Dia tidak tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat pada Wina. Dan Wina seolah menghukumnya tanpa berkata apa-apa. Wina terdiam.. 

"Winaaaa...ayoook...", teriakan teman-temannya meyadarkan Wina pada kenyataan. Wina harus pergi dengan teman-temannya. Wina harus kembali kepada kenyataan. Kenyataan kali ini, kenyataan yang bisa membuat Wina tidur. Yah.. Wina sering berucap, dalam delusi-delusi bodohnya "Aku tak akan tidur malam ini, karena kenyataan hari ini, kenyataan yang lebih indah dari mimpi" di hari-hari saat dia berjumpa penolongnya itu. 

Namun kakinya telah berpijak di tanah yang telah terpisah oleh samudera samudera luas yang membuat perbedaan saat jelas terasa antara mereka. Wina menunduk, air mata itu menetes, ia tak sanggup lagi menahannya. "Good... good bye", sambil menghapus air matanya.. Wina berlari ke arah teman-temannya. Berlari mengarah pada kenyataan yang sebenarnya.. Dan Wina tak menyesali sedikitpun semua yang telah terjadi. Dan jika memang jalannya telah begini.. maka beginilah akhirnya.. Dan rasa itu.. tak kan pernah jatuh lebih dalam lagi. Karena ia tak kan pernah punya muka pada hatinya, pada Jiminy cricket. Wina dan rasa hati yang sedikit terlambat, akan terlewatkan oleh waktu yang terus berputar... 
Waktu yang akan selalu mengobati...

(Ditulis Senin, 9 November 2015, namun urung dipublikasikan sampai hari ini)