Rabu, 21 November 2018

Umat Terbaik (repost from FB Notes posted on February 2, 2010)

Aku satu diantara berjuta umat terbaik yang ada (katanya)

Kemarin aku merasa tak berharga, seolah hanya seorang perempuan hina yang tersesat di hutan. Tak ada seorang yang menunggu, tak pula ada yang mengkhawatirkan, tidak satu manusiapun bertanya…

Seolah aku begitu rendah, bahkan seorang bajingan sekalipun tak pantas berteman denganku. Seolah hanya debu dan anginlah tempat berteduh, seolah hanya malam yang mampu menenangkanku.

Sadar, aku bukan seorang manusia yang sempurna, karena tak ada satu manusia pun terlahir sempurna. Karena bahkan menjadi sempurnalah merupakan “ketidaksempurnaan”. Karena sempurna hanya ada pada yang benar-benar Ada. Aku terlahir sempurna, menurut mereka yang belajar apa itu persilangan. Kata mereka pembelahan selku sempurna, tak ada cacat fisik, tak punya cacat bawaan, ataupun penyakit mematikan. Seiring waktu aku pun sadar lingkungan tempatku tumbuh masih begitu nyaman. Aku punya orangtua utuh, bapak dan ibu, punya hampir selusin saudara kandung yang akan selalu ada untuk membelaku. Waktu terus berputar dan keluargaku melipatgandakan angkanya. Sekarang jika aku adalah putri salju (silahkan tertawa, karena ini cuma pengandaian kawan!), maka aku punya 3 kurcaci tambahan yang akan selalu mengobati lukaku. Kurcaciku jauh lebih lucu dari kurcaci putri salju. Kurcaciku jauh lebih pintar dari kurcaci putri salju. Kurcaciku pun beragam dan satu yang kutahu, hariku tanpa matahari, jika tak ada satu kurcacipun yang kutemui.

Sadar, aku bukan selembut putri salju. Tak sepintar Bill Gates. Tak semulia ibunda Khadijah. Tak secerdas Aisyah. Aku bukan Maryam. Aku Cuma perempuan bodoh yang selalu mencari pembenaran akan diri. Selalu bersuara lantang saat dihina dan diinjak harga dirinya. Selalu membangkang saat dikekang. Menangis saat disakiti dan terluka. Terbahak saat waktunya. Selalu keras kepala.

Sadar, aku bukan siapa siapa. Hanya seorang teman yang tak perlu dikenang terlalu lama jika suatu saat harus pergi. Juga bukan aristocrat yang biografinya akan ditulis oleh lebih dari 5 orang penulis peraih Pulitzer. Aku bukan sesiapa. Aku juga bukan seorang yang negaranya akan hancur jika keputusan yang kuambil salah. Aku bukan orang yang perkataannya akan dicatat dalam beratus skripsi mahasiswa tahun akhir, dan namaku juga tak ada pada bahkan satu citation pun disana. Aku bukan siapa-siapa.

Sadar, aku bukan baginda Rasulullah SAW, yang perkataan dan perbuatannya adalah mutiara. Yang jika melihatnya maka sejuk hatimu. Yang jika memeluknya surga bagimu. Yang setiap perkataannya akan dihafal terus oleh sebagian umat yang bagiku sangat mulia. Aku bukan siapa-siapa.

Tapi kawan….
Jangan pernah rendahkan, karena aku punya Tuhan. Jangan pernah hinakan, karena aku punya hati dan perasaan. Jangan pernah jatuhkan, karena aku akan berdiri dan lantang berteriak di wajahmu bahwa aku “manusia beruntung” yang dipilih Tuhan. Ingat itu kawan! Aku sering berbuat dosa, aku sering lupa, aku sering khilaf, aku sering menyakiti. Namun tak boleh ada satu umatpun yang berhak berkata kalau aku tak pantas dapatkan surga, tak ada satu umatpun yang boleh kata aku calon penghuni neraka. Tak boleh satupun mengklaim, kalau surga adalah miliknya. Karena bagiku, Hak Tuhan adalah Hak-Nya. Kau tak bisa ambil, tidak juga aku. Kawan, aku bukan seorang ulama atau filsuf yang mengkaji beratus kitab tuk menulis sebuah kitab lainnya. Aku bukan ilmuwan yang harus berbulan-bulan berkutat di lab demi suatu penemuan. Namun kini mataku terbuka kawan, dan kalian yang membantuku. Kalian ajarkan aku surga dan neraka. Kalian ajarkan aku tuk membaca setiap tanda. Dan kini aku tahu, bahwa tak ada takwa yang mampu terbaca oleh manusia. Satu lagi kawan, Hak-Nya adalah Hak-Nya, kau tak bisa ambil, tidak juga aku. Aku Cuma manusia biasa, sering kecewa dan marah, sering terluka. Dan kau ajarkan aku tuk lupa. Tapi kawan, aku telah membaca bahwa takwa bukan dari apa yang kau kenakan. Bukan dari berapa panjang kain yang kau kibarkan, bukan dari berapa helai janggut yang kau biarkan tumbuh disana. Takwa…. Yang aku tahu, hanya menjadi Hak-Nya dan hanya Ia yang Tahu.

Sekarang, sehebat apapun kau merasa dirimu. Sebersih apapun kau kira dirimu. Sesuci apapun kau lihat dirimu, kumohon jangan rendahkan aku. Karena aku pun sama denganmu. Aku bersyukur karena apapun yang kulalui, apapun yang mereka katakan, aku masih punya Tuhan. Dan Tuhan ku berkata…. Aku tergolong kedalam umat terbaik yang diutus tuk manusia. Aku salah satunya, dan kuyakin kalian juga. Lalu kenapa kau mesti menggolongkanku pada kelompok yang berbeda, padahal Tuhan menyatukan kita. Kenapa kau pisahkan aku karena aku seorang yang keras kepala, karena toh Tuhanku berkata kita adalah umat yang menyeru surga…..

Ingat kawan, walau aku bukan yang terbaik dimatamu. Walau aku merupakan aib bagimu. Walau aku satu-satunya hal yang ingin kau lupakan dan hapus dari ingatanmu. Aku tetaplah sama denganmu, dan aku masih punya Tuhanku. Aku yakin Tuhan ku pun Tuhan mu. Lantas kenapa kita bersiteru!?

Januari 2010
setelah shubuh itu pergi, mesjid itu tetap disana, akan selalu menyeru....Allahuakbarsetelah Shubuh itu pergi, mesjid itu tetap disana, akan selalu menyeru....Allahuakbar

HUJAN (repost from FB notes posted on February 13, 2010

Jika aku harus memaknai sebuah kisah, kumaknai kisah ini seperti hujan…..
Sama seperti hujan, kisah ini berputar…. Bermula di lautan, ehm.. tidak, kisah ini bemula di anak-anak sungai yang menyatu di sungai besar. Untuk kemudian bermuara di lautan….

Bermula dari sebuah goresan di bibir, lukisan wajah yang dinamai senyuman. Dari sana senyuman berubah simpati dengan riak-riak hidup seperti kesal, marah, benci, tawa, duka, sepi…. Saat sungai rasa mengalir menuju lautan yang luas, rasa itu pun bermuara. Jika kau bisa menyebrangi sebuah sungai, bukanlah hal yang sama jika kau menyebrangi lautan. Jika kau ingin mendayung perahumu di sungai, tak akan semudah itu jika kau mendayung perahumu di lautan. Dan saat rasa mu berubah seluas dan sedalam lautan, akan sulit bagimu untuk pergi. Sangat sulit karena rasa itu telah menyatu dan membumi.

Saat hari panas dan terik, lautanpun menguap….
Saat itu, rasa menguap karena keengganan dan ketidakpedulian, rasa menguap oleh terik kemarahan dan dendam, berselang waktu yang lama, terus rasa itu menguap. Bahkan jika ditanya bagaimana lautan merelakan sebagian dirinya menguap diangkasapun, ia tak tahu. Kepergian harus ada. Dan untuk ini laut harus melepas rasa itu pergi… jauh ke tempat yang tak pernah bisa diraihnya.
Saat waktu menjawab segalanya, dendam tak lagi menjadi dendam, marah tak lagi menjadi marah, yang ada hanya keikhlasan seputih awan di langit sana…

Saat semua awan menggantung pun, kadang marah tak tertahan, karena diri tak mampu mendamaikan hati untuk berharap. Kecamuk dalam diri memaksa keikhlasan menjadi pasrah dan kecewa, fakta kadang datang seperti petir. Senantiasa menampar awan yang putih itu.
Awanpun menghitam…

Tangis tak terbendung saat kesedihan merajai hati. Menangispun sekarang tak butuh alasan. Saat hujan tak ternbendung, air pun tumpah dari langit kembali jatuh pada tempat-tempat dimana semua kisah ini bermula.

Pada anak-anak sungai kebaikan, kebijakan, kepedulian, keramahtamahan. Sekuat apapun menolak, kisah ini akan terus berputar… seperti hujan… kisah ini pun akan terus ada, dalam titik-titik hujan, yang mendamaikan hati…




February 8, 2010